Jumat, 19 September 2014

GURU SANG TELADAN (Part 1)



Kalau pernah ada pepatah mengatakan “PENGALAMAN ADALAH GURU”, maka lain lagi dengan istilah Keteladanan. Namun diantara keduanya, baik ‘Pengalaman’ maupun ‘Keteladanan’, sama-sama meninggalkan jejak. Jejak ini yang kemudian akan menimbulkan persepsi publik, dan tentu bermuara pada penarikan kesimpulan. Ini selanjutnya Nampak jelas dalam sela-sela rutinitas anak sekolahan setiap hari, bak ‘sandiwara’ dimana lakon utamanya adalah sosok sang GURU.
Jika ‘Pengalaman adalah guru’, maka dalam hal ini ‘Keteladanan itu adalah Guru’ atau berlaku pula sebaliknya; ‘Guru adalah teladan’. Maka jangan heran jika guru kencing berdiri, akibatnya siswa kencing berlari. Persoalan bukan pada kencing-nya tapi inilah yang dimaksud dengan adab.
Dalam islam, ajaran-ajaran rasul tersusun rapi dalam Al Qur’an dan Sunnah, sehingga inilah yang dinamakan jejak-jejak rasul, yang dijaga ketat keasliannya disepanjang zaman oleh para syuhada, ilmuwan, para tokoh, dan lainnya, tak lain ini bukan sekedar ajaran teoritis beragama, namun lebih penting dari itu adalah mengandung unsur keteladanan. Maka dengan konsep ini, Nabi Muhamad sampai saat ini tetap pada dedikasi sebagai sosok panutan atau dikenal sebagai Qur’an berjalan.
Kembali ke komunitas pendidikan, dimana para pelakunya boleh dikata semua aktor intelek, tentu harus mengedapankan keteladanan, dan bukan berarti meninggalkan pendidikan teoritis, lantaran hal ini pasti dan lambat laun akan meninggalkan jejak. Rekam jejak ini kemudian yang akan menuntun para pelaku pendidikan untuk menentukan arah kiblat dalam berucap dan bertindak.
Lihat saja betapa keanehan yang muncul ditengah-tengah pendidikan yang sedang berproses. Di saat para guru yang sedang gencar-gencarnya mengkampanyekan arti disiplin di kalangan anak didik, justru pelanggaran disiplin itu sering muncul dari sang guru (sering trelambat datang, kemudian terlambat pula berada di kelas). Dan makin aneh lagi ketika larangan merokok berlaku bagi siswa dengan alasan kesehatan dan penyusutan isi kantong, tapi hal ini tidak berlaku bagi sang guru. Sekolah memimpikan solidaritas dan saling hormat di antara stakeholder pendidikan, lewat visi-misi sekolahnya, namun tidak sedikit di antara para guru yang masih doyan ‘gontok-gontokkan’ Cuma karena berbeda pendapat, saling hujat lantaran ketidakpuasan terhadap pimpinan, bahkan kadang kala juga tak mampu berpuasa dari kata-kata kotor.
Ini memang terkesan aneh, karena berharap siswa manut, sementara sang panutan tak layak diguguh dan ditiru.
Lebih menyeramkan lagi, ada beberapa fakta yang memperlihatkan keberadaan guru di sekolah yang bertindak layaknya ‘Dewa’. Ini paling terkait langsung dengan Pembelajaran di Ruang kelas, di mana sang guru seantiasa memposisikan diri sebagai sumber dari segala sumber hukum, sumber dari segala sumber ide, bahkan kalau perlu sumber kehidupan (ini mungkin sudah keterlaluan). Lalu di lain sisi, siswa dianggap pendengar yang setia, pengamat bahkan penonton di kelas. Tak heran jika pemerintah terlalu sering mengalami stress melihat kondisi yang semacam ini, lalu dengan dalil ‘penting’ dan ‘genting’,mengupayakan adanya perbaikan lewat revisi kurikulum (terupdate K-13), peningkatan kesejahteraan guru (terupdate Tunjangan sertifikasi), dan upaya lainnya yang dianggap sakti, yang hingga kini masih menunggu hasil dan bakan kemungkinan tak akan pernah berhasil.
Bagi penulis, semua persoalan ini cukup dengan solusi yang sederhana. Maka oleh karena itu sangatlah bijaksana jika perlu ditawarkan konsep “back to Classroom, back to yourself”.
Harus disadari sepenuhnya bahwa keteladanan seorang guru adalah bentuk pola kebiasaan yang selamanya dan setiap harinya akan menjadi rekam jejak tersendiri bagi anak didik (back to yourself). Jika dalam sinetron kita sering kenal sebuah judul ‘tetanggaku adalah idolaku’, maka tidak menutup kemungkinan di sekolah berlaku ‘guruku adalah idolaku’. Ini juga tak lepas dari kebiasaan siswa yang paling dekat dengan sosok sang idola. Untuk itu pula, tidaklah berlebihan jika guru selalu tampil sebagai sang idola, sebagai sosok yang berkarakter mulia, penuh dengan panutan. Tentu dengan pola kebiasaan (habitus) ini, kita akan memulainya dengan konsep ‘back to classroom’ –mulailah dari dalam kelas-.
Lalu, bagaimana sebenarnya sosok guru yang diidolakan siswanya? Insya Allah pada pembahasan artikel selanjutnya.
Diberdayakan oleh Blogger.

 

© 2013 Blog Pendidikan. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top